Waktu itu err saya ujian SBMPTN di
Fakultas Kedokteran UGM, letaknya di sebelah selatan Fakultas Teknik. Kebetulan
waktu itu saya belum tahu jalan, jadi saya menganggap FK UGM ini terletak di
semacam tempat aneh dengan banyak pedagang kaki lima. Dan saya dengan polosnya
bilang ini seperti dunia lain.
Wah satu lagi fakta mencengangkan
dan mengesankan saya layaknya anak kecil yang benar-benar tersesat adalah bahwa
ini adalah pertama kalinya saya berkunjung ke Jogja. Well banyak sekali untuk
yang pertama kalinya seusai menamatkan pendidikan di bangku SMA. Pertama kali
naik pesawat, pertama kali ke Jogja, dan pertama kali berada dalam kebimbangan
yang begitu dalam sepanjang hidup saya.
Pagi-pagi sekali di hari tes SBMPTN,
saya bangun dan merasa tidak nafsu makan sama sekali. Saya mandi, dan terpaksa
menelan nasi, rasanya seluruh indera saya telah lumpuh, dan satu-satunya
perasaan yang dapat saya rasakan adalah bahwa saya masih bernafas.
Entah mengapa waktu itu saya tidak
begitu cemas, hanya hilang rasa saja. Mungkin karena saya telah mencemaskan
hari ini di hari-hari sebelumnya, atau mungkin karena saya lebih mencemaskan
ibu saya yang cemas karena anaknya akan bersekolah di luar kota, atau luar
pulau lebih tepatnya.
Jalan Kesehatan, tempat tes saya masuk ke dalam lagi |
Satu hal yang paling saya ingat, itu
pagi yang dingin, dan perjalanan ke tempat tes rasanya lama sekali. Maka ketika
sampai, saya hanya melongo ketika disuruh masuk ke dalam gedung. Ruangan tempat
tes berada di lantai 3, dan saya cuma mematung di depan lift, bimbang mau ke
atas naik lift atau tangga.
Sejujurnya saya malu mengakui ini,
tapi sudah begitu banyak hal memalukan yang saya lakukan jadi ketimbang yang
lain, ini hanyalah masalah kecil. Permasalahannya adalah saya tidak tahu
bagaimana mengoperasikan lift. Pengalaman saya naik lift dapat dihitung, dan
selalu ada orang yang memencetkan tombol untuk saya. Jadi ketika ini terjadi,
sementara waktu berjalan dan orang-orang lewat, saya masih belum berpindah seinci
pun.
Akhirnya saya memberanikan diri naik
lift. Saya sedikit mengingat tombol mana yang harus dipencet, tapi bahkan
sebelum saya memencet tombolnya, seseorang telah melakukannya, dan saya
berpikir mungkin saya beruntung.
*****
Ruangan tempat tes adalah ruang
mikrobiologi. Sebenarnya itu laboratorium. Saya meletakkan tas hitam saya di
suatu meja seperti yang disuruh pengawas ujian. Tes pertama adalah Tes
Kemampuan Dasar Saintek. Ini tes yang sulit, ada beberapa banyak sekali
soal yang tidak saya tahu jawabannya, bahkan ada juga yang tidak saya mengerti
pertanyaannya. Di menit-menit terakhir yang saya lakukan hanyalah meraut pensil
dan mengusapkan tangan saya ke celana. Tangan saya entah mengapa tak
henti-hentinya mengeluarkan keringat, dan saya dengan sangat merutuki kebodohan
saya karena tidak membawa tisu.
Akhirnya setelah pergulatan yang
panjang dan melelahkan pikiran, saya memutuskan untuk menebak beberapa. Saya
tahu ini beresiko, dan di tes seperti ini lebih dari apapun juga. Layakkah ini
dipertaruhkan? Saya mulai menyusun teori di atas teori, jika salah maka nilai
saya dikurangi satu, jika benar maka ditambah empat. Minus satu untuk banyak
soal. Itu pilihan yang mengerikan, tapi patut dipertimbangkan. Lagipula poin
empat itu bukan main-main. Jadi saya dengan keputusan yang nekat, meski ragu,
melingkari jawaban. Entahlah bagaimana jadinya, saya tidak peduli.
Sayang saya tidak di sini, kalo ada saya pastilah sedang meraut pensil |
Setelah dipikir-pikir lagi ketika istirahat untuk tes kedua, saya menyesal telah melakukannya. TKD Saintek ini, dengan sukses telah saya gagalkan. Ini benar-benar berakhir, dan saya telah divonis gagal bahkan sebelum menyelesaikan tes kedua.
Maka
yang saya lakukan cuma duduk di suatu bangku di antara anak-anak
perempuan yang tidak saya kenal. Kami semua diam dalam pengharapan yang sama,
bisa keluar hidup-hidup dari gedung ini. Tidak ada yang berniat memperkenal
dirinya, bahkan yang duduk bersebelahan sekalipun.
Di tes kedua, saya hanya berharap
bisa menjawab soal sebaik dan sebanyak mungkin. Soalnya tidak bisa dibilang
enteng, tapi lebih mudah ketimbang tes pertama tadi. Jadi ketika keluar dari
gedung siang itu meski dengan perut keroncongan saya merasa ringan, lega
akhirnya ketika tes ini telah selesai. Seperti kata salah seorang teman sewaktu
menjelaskan salah satu genre novel suspense,
perasaan hampir jatuh atau mungkin belum jatuh. Well setidaknya saya sudah
berhasil melewati tahap itu, meski tidak tahu apakah saya jatuh atau justru
bertahan di atas tebing curam. Satu-satunya yang saya harapkan adalah keberuntungan.
Tapi sejauh yang saya ingat saya tak pernah beruntung dalam hal tebak-menebak.
Ah, bicara tentang kesalahan memang tak ada habisnya. Manusia adalah makhluk yang selalu, selalu, selalu, berbuat kesalahan. Entah itu kesalahan sepele atau kesalahan besar. Itulah yang menjadikan manusia seorang manusia. Karena hanya Tuhan yang tak pernah berbuat salah.
Ketika topik ini disinggung, aku kerap kali bertanya pada diriku sendiri. Entah itu saat mengantri makanan, duduk di toilet, makan, atau saat bercanda bersama teman-teman. Dan saat paling tidak mengenakkan mungkin adalah saat sedang bersenang-senang, tiba-tiba kesalahan itu menyeruak ke dalam pikiran kita sehingga kadang kita berpikir tak pantas mendapatkan segala kesenangan yang ada.
Aku selalu bertanya apakah kesalahan yang telah ku perbuat bisa diperbaiki. Lebih jauh lagi aku bertanya seberapa jauh aku telah menjerumuskan diriku sendiri? Pertanyaan ini hadir misalnya saat aku mencontek tugas seorang teman kuliah. Bukan mencontek biasa, tapi copas seratus persen, jadi aku bertanya lagi seberapa parah aku telah bertindak keterlaluan?
Aku orang yang introvert. Semua bisa mengira dengan mudah ku rasa. Tapi menurut temanku, Shelly sebenarnya aku orang yang misterius. Lebih lanjut dia mengatakan orang takkan tahu dirimu yang sebenarnya kecuali mereka yang dekat denganmu. Mereka tidak melihat seberapa gila dirimu. Nah itu mungkin benar. Hahaha..
Dulu aku mungkin manusia yang penuh akan penyesalan. Aku menyesal tidak melakukan banyak hal. Aku menyesal tidak belajar karena aku melewatkan satu nomor soal ujian, aku menyesal tidak menghafal lebih baik karena penjelasan di ulanganku terlalu singkat, aku menyesal diam saja karena pada akhirnya aku tidak dipilih, aku menyesal menjalin hubungan dengan seseorang karena aku hanya membohongi perasaanku sendiri dan menyakiti orang itu, aku menyesal karena hanya bisa menatap orang yang ku sukai tanpa bisa berkata apa-apa, aku menyesal waktu berjalan terlalu cepat karena kerentaan adalah sesuatu yang tidak aku inginkan, tidak ada manusia yang menginginkannya, aku menyesal tidak mengenal temanku lebih baik, aku menyesal tidak bisa berteman dengan lebih banyak orang, aku menyesal kenapa aku begitu malu untuk sekadar menyapa, aku menyesal bertindak egois, aku menyesal karena bangun kesiangan dan tidak solat, aku menyesal tidak berdoa lebih banyak, aku menyesal tidak beribadah lebih giat, aku menyesal belum bisa membahagiakan orangtuaku, aku menyesal karena telah menyesal.
Kenyataan ini pada akhirnya membuatku sadar aku telah melewati terlalu jauh, tak ada jalan untuk kembali ke masa lalu dan mengubahnya. Inilah aku sekarang, dan kesalahan-kesalahan seperti bunga api yang membakar kesenangan yang ada sekarang. Sehingga setiap kali aku tertawa, pertanyaan “sampai kapan kesenangan ini berlangsung” selalu muncul di pikiranku. Pada akhirnya aku menjadi diam, dan belajar untuk tidak terlalu menikmati.
Tapi semakin tua dirimu berarti semakin banyak pula kau belajar. Dan pelajaran yang paling dasar dari semua yang ada adalah bahwa tidak peduli seberapa banyak kesalahan yang kau perbuat kau selalu punya jalan untuk kembali. Kau selalu bisa kembali berada di jalan yang benar. Karena Tuhan bahkan begitu baik padamu yang selalu berbuat salah.
Ini terjadi padaku. Seperti sebuah peringatan. Seringkali merupakan tanda bahwa aku berbuat salah, dan Tuhan seperti menuntunku untuk kembali ke jalan yang benar tidak peduli apa yang ku lakukan.
“And He found you lost and guided you”
(QS Adh Duha: 7)
Ah
selalu saja ada waktu untuk jalan-jalan. Masuk dalam daftar panjangku setelah
masuk UGM adalah berkeliling UGM, aku menyebutnya UGM Discovery. Tentu saja aku
tidak mungkin menghabiskan sepanjang waktu kuliahku hanya nongkrong di Teknik
lebih tepatnya kalau tidak TETI ya KPFT. Itu menyedihkan, dimana satu-satunya
temanmu adalah laptop dan parahnya mereka tidak bisa berbicara.
Gedung Jurusan Teknik Elektro dan Teknologi Informasi |
Jadi berbekal tekad, aku dan Ica, teman dekatku - yang tegas namun memiliki kecenderungan yang unik - memulai misi kecil-kecilan kami. Dulu saat masih SMA aku mempunyai Shelly untuk melakukan misi-misi kami yang bisa dibilang gila dan tidak masuk akal. Tapi berhubung misiku yang satu ini cukup masuk akal, Ica dengan senang hati menemaniku, meski dengan tujuan yang sedikit berbeda.
Target
pertama kami adalah Fakultas Kedokteran. Selain karena merupakan jurusan
favorit seluruh negeri, FK UGM tentu saja memiliki banyak spot menarik. Aku
pernah ke sana sekali untuk tes SBMPTN. Hanya sekali, dan aku cukup terkesan.
Tapi rencana ini nampaknya batal, ditunda mungkin karena salah satu peraturan
memasuki lingkungan Fakultas Kedokteran adalah memakai celana kain, alias tidak
boleh memakai celana jeans. Jadi jelas aku dan Ica tersingkir bahkan sebelum
sempat bertemu penjaga gerbangnya. Sebetulnya aku punya celana kain, sedangkan
Ica tidak.
Fakultas Hukum UGM |
Target kami selanjutnya adalah fakultas yang berada di sekitar Masjid Kampus UGM yang masuk kelompok sosio-humaniora. Aku dan Ica memarkirkan sepeda motor di Pusat Jajanan Lembah. Pusat Jajanan Lembah adalah sejenis kantin yang dikelola di depan jalan yang berhadapan dengan Fakultas Hukum. Dari sana kami berjalan kaki menuju gedung FH yang berwarna jingga. Kami sempat masuk ke dalam sebuah koridor yang didepannya ada patung gajah keemasan, mungkin itu simbol hukum, pikirku. Aku tidak sempat mengambil gambar patungnya karena Ica terlalu gengsi untuk dikira orang nyasar. Tapi kabar baiknya aku sempat mengambil beberapa penampakan gedung FH bagian dalam, yang ternyata menarik.
Perpustakaan Fakultas Hukum rame banget ya motornya |
Ah ini semacam tempat organisasi mahasiswa FH |
Fakultas Ilmu Sosial dan Politik cuma selangkah dari Fakultas Hukum |
Berdekatan dengan FH, ada Fakultas Ilmu Sosial dan Politik. Wah-wah anak FH dan Fisipol bisa saling berkunjung, tidak seperti Fakultas Teknik yang terisolir. Tak jauh dari situ ada pula gedung Fakultas Ekonomika dan Bisnis dimana salah satu gedung tertinggi UGM ada di sana. Ya, Pertamina Tower, gedung yang begitu menjorok ke langit, yang diklaim dirancang oleh anak teknik namun sayangnya digunakan oleh anak FEB. Entahlah rumor ini benar atau tidak, tapi setiap kali aku dan teman-temanku berkumpul di GSP dan melihat gedung ini, suasana mendadak muram.
Pertamina Tower nan megah |
Gedung ini (seingatku) berlantai delapan. Sarana ke lantai atas tentu saja lift yang menambah kemurungan mengingat Fakultas Teknik sama sekali tidak memiliki lift. Lantai teratas adalah sejenis kafe dengan tema alam. Indah sekali bisa memesan kopi sambil menikmati pemandangan dari langit. Tapi seperti yang bisa diprediksi oleh siapapun, kopi di sini tidak mungkin semurah kopi di warung kopi. Aku dan Ica juga tidak berani melangkah lebih lama di taman kafe tanpa membeli kopi. Maka kami memutuskan paling aman jika tidak menikmati pemandangan di sana, kami bisa menikmati masuk toiletnya. Jelas bukan pertukaran yang seimbang, tapi setidaknya kami sudah di sini.
Kafe di lantai teratas |
Ternyata
toilet di sini, err bagaimana ya, jika bisa dibilang lebih indah dari toilet di
FT, ya sudah jelas dan pasti. Bersih lagi, dan meskipun kami sempat salah
membaca tanda antara toilet laki-laki dan perempuan, kami toh menikmatinya
juga. Untung tidak ada orang, sehingga kami bebas menikmati setiap detik yang
ada. Tentu saja berfoto adalah salah satunya. Apa berfoto di toilet masih tren
ya?
Sampe miring-miring gitu haha |
Turun dari sana kami memutuskan untuk naik tangga, tapi baru setelah aku dan Ica kecapaian. Jadi kami naik lift lagi. Tujuan kami selanjutnya adalah Fakultas Ilmu dan Budaya yang ternyata terletak tepat di samping gedung. Wow, ternyata banyak fakultas yang bertetangga satu sama lain, ditambah tidak ada pintu gerbang khusus sehingga bisa saling berkunjung.
Fakultas Ilmu Budaya yang tepat di samping Pertamina Tower |
Suasana agak berbeda di FIB. Baru saja masuk ke hall utama kami sudah disuguhi mading yang isinya pasti tidak akan mungkin berada di mading Teknik. Aku dan Ica naik ke lantai dua lewat tangga di samping koridor. Dari atas sana kami bisa melihat Pertamina Tower yang megah dan satu lagi gedung yang masih dalam tahap pengerjaan.
Ica di Auditorium FIB |
Mading FIB nih |
Karena aku berjiwa petualang dan Ica yang mau-mau saja diajak kemana-mana, kami lagi-lagi nyasar ke Fakultas lain yang berdekatan. Padahal niatnya cuma nyalip di jalan sempit, eh ternyata nyasar ke Fakultas Psikologi. Ya sudahlah, berhubung di sini, kami menjelajah lagi. Ada semacam wahana warna-warni di sini. Cuma tiang sih tapi dengan cat warna-warni, aku terpesona, jujur saja. Pastilah ada kaitannya dengan psikologi diri seseorang. Lorong dengan tiang berwarna ini menuju ke kantin Psikologi. Bangunan di samping lorong adalah tempat unit kegiatan mahasiswa atau organisasi. Beberapa kulihat di pintunya ada tulisan Dema Psikologi, KMP (Keluarga Muslim Psikologi) dan banyak lainnya yang aku sudah lupa. Hampir sama seperti di Teknik, hanya saja di Teknik tempatnya bukan lorong tapi semacam lembah.
Tiang warna-warni di Psikologi |
Tak terasa sudah menjelang sore. Aku dan Ica punya masalah yang cukup rumit di sini. Lupa jalan pulang. Berhubung yang kami lakukan seharian hanyalah lewat dan jalan di koridor sempit, kami lupa dimana tepatnya letak jalan-jalan penghubung itu. Tenaga kami sudah habis, dan semangat yang tersisa mendekati level akhir. Ica memutuskan lebih dulu, tapi nyatanya kami malah nyasar lagi, kali ini di Fakultas Filsafat. Sepertinya sudah dekat, gumam Ica tak jelas. Aku kelelahan jadi menurut saja meski tak yakin. Aura di sini juga berbeda. Untuk pertama kalinya setelah sekian jam melihat anak dari berbagai fakultas berpakaian, aku merasa Filsafat lebih mirip Teknik di bidang sandang. Aku tak yakin mengatakan hal ini, tapi melihat anak Hukum, Fisipol, FEB, FIB berpakaian, aku jadi minder. Bahkan Ica terbengong-bengong melihat salah seorang mahasiswa berambut ungu yang sedang berjalan di sekitar Hukum dan FEB.
Tentu saja saja penutup yang tak kalah heboh dari cerita perjalanan kami di UGM Discovery adalah masuk FEB lagi. Kali ini tidak di Pertamina Tower tapi di gedung lebih rendah di sebelahnya, tempat dimana segerombolan anak duduk dan menonton. Sedang ada pemilihan ketua BEM FEB ternyata di tambah acara Porsenigama (Pekan Olahraga dan Seni UGM). Tahu apa yang menarik? Anak FEB sedang pesta kostum dengan tema bajak laut, dan tepat di hadapanku, sedang menyapu adalah Jack Sparrow. Apa? Jack Sparrow nyapu??!! Jika kalian tidak tahu Jack Sparrow adalah tokoh bajak laut yang ada di film Pirates of The Caribbean. Ini pasti tidak benar. Ica pikir aku meracau seperti biasa. Tapi ini sungguh nyata saudara-saudara. Di depanku membelakangi kami seorang mahasiswa dengan pakaian bajak laut Jack Sparrow sedang menyapu, membersihkan sampah pesta mereka. Kami tertawa, dan untuk keseluruhan jalan-jalan ini meski misi kami berdua belum 100% terpenuhi, tetap saja itu menyenangkan. Ya, menyenangkan, melihat Jack Sparrow nyapu salah satunya.
Penampakan Jack Sparrow nyapu |
Salah satu
acara dari FDK yang paling ku tunggu adalah Galadiner. Aku tidak akan
memberitahukan alasannya, namun cukup tahu saja bahwa aku menanti-nantikan
datangnya malam itu.
Untuk acara
yang berhubungan dengan angkatan sendiri aku sudah dua kali masuk sie dekorasi.
Pertama waktu Pentas Seni Makrab, dan yang kedua, Galadiner ini (jujur aku
berharap akan ada kepanitian angkatan semacam ini lagi). Anak-anak dekor
menyenangkan sekali. Aku, Ully, Yona, Oca, Adit, Raka, dan Grace adalah anggota
tetap. Di acara Galadiner kami masuk dekor lagi ditambah Agta, Tika, Yudan,
Luqman, dan Tita.
Dari kiri Yona, Lukman, Tika, Tita, Ully, Aku, Grace, Agta Raka, Oca, Adit, Yudan |
Untuk urusan
kerja, kami punya base-camp khusus, dimana tidak dimiliki anak
sie panitia lainnya. Tempat kerja kami di rumah Agta, bertempat di Pogung Baru.
Kami sering mengerjakan tugas dekor-mendekor sampai malam. Tapi inilah serunya
punya tempat khusus, dengan orang-orang yang sudah dikenal, kami selalu punya
sesuatu untuk dimakan.
Mungkin
karena pekerjaan kami yang tidak terduga, dan merujuk pada sie lainnya yaitu
acara dan perkap, kami kadang-kadang bekerja setelah selesai kuliah. Biasa juga
agak sore, tapi selalu pulang malam. Anak-anak dekor mempunyai perhatian yang
lebih soal makan, jadi mereka selalu berinisiatif membeli makanan. Alhasil, aku
tak pernah kelaparan.
Pernah Ully
membawa sekantong penuh makanan ringan dari kosannya, atau Adit yang membuat
kue sendiri, atau Luqman yang membelikan sekaleng lemonia, Yona yang selalu membuatkan
kopi khas kafe untuk kami, dan Grace yang pernah membelikan dua bungkus roti
bakar. Ku rasa mungkin ada banyak yang lainnya, namun hanya itu yang bisa aku
ingat.
Uniknya itu
selalu menjadi ciri khas. Dan pekerjaan kami kelihatannya memang mudah, namun
diperlukan pemikiran untuk meminimalisir dana dan penyesuaian dekor itu
sendiri. Kami harus bisa memanfaatkan barang yang ada. Sisa pementasan kemarin
masih ada, kebanyakan kertas asturo. Sejujurnya aku tidak terlalu mengerti
mengenai dekor. Lebih tepatnya aku tidak bisa merancang sesuatu yang kreatif
jika tidak memasangnya langsung. Tapi Ully selalu bisa, dia terbiasa mendekor.
Jadi aku hanya menurut saja apa yang harus dikerjakan.
Penerbangan lampion di akhir Galadiner |
Galadiner, InfiniTETI kami sendiri berjalan lancar dan sukses. Kami membuat bros dimana hanya
anak dekor yang menggunakannya. Bros dari pita berwarna emas yang dipasang di
dada. Dengan itu kami berfoto bersama. Yeah, mungkin aku akan merindukan
momen-momen bersama mereka.
Orang dewasa tidak ingat lagi, bagaimana rasanya, menjadi anak-anak.
Walaupun mereka mengaku begitu.
Mereka tidak tahu lagi. Percayalah padaku.
Mereka sudah lupa semuanya.
Betapa dunia dahulu berkesan lebih besar bagi mereka.
Betapa repotnya memanjat ke atas kursi.
Bagaimana rasanya kalau harus selalu menengadah?
Lupa.
Mereka tidak tahu lagi.
Kau pun akan melupakannya.
Kadang-kadang orang dewasa bercerita, betapa indahnya ketika mereka masih anak-anak.
Mereka bahkan bermimpi menjadi anak-anak lagi.
Tetapi apa yang mereka mimpikan ketika masih anak-anak?
Tahukah kau?
Aku rasa, mereka bermimpi ingin cepat-cepat dewasa.
Walaupun mereka mengaku begitu.
Mereka tidak tahu lagi. Percayalah padaku.
Mereka sudah lupa semuanya.
Betapa dunia dahulu berkesan lebih besar bagi mereka.
Betapa repotnya memanjat ke atas kursi.
Bagaimana rasanya kalau harus selalu menengadah?
Lupa.
Mereka tidak tahu lagi.
Kau pun akan melupakannya.
Kadang-kadang orang dewasa bercerita, betapa indahnya ketika mereka masih anak-anak.
Mereka bahkan bermimpi menjadi anak-anak lagi.
Tetapi apa yang mereka mimpikan ketika masih anak-anak?
Tahukah kau?
Aku rasa, mereka bermimpi ingin cepat-cepat dewasa.
Sepenggal puisi
ini saya temukan di awal novel Herr der Diebe atau dalam terbitan
Indonesia sendiri berjudul Pangeran Pencuri. Novel karya Cornelia Funke ini
bercerita tentang dua orang anak laki-laki, Prosfer dan Bo yang kabur dari bibi
mereka, dan akhirnya bertemu dengan teman mereka yang senasib yang tinggal di
belakang sebuah teater tak terpakai yang mereka namakan Istana Binatang.
Menyusuri Venesia yang indah dengan kanal-kanal di sudut kota,
bangunan-bangunan tua antik dan megah yang berdiri kokoh, serta kebudayaan kota
air yang kental, Herr der Diebe membawa kita berimajinasi.
Tapi lepas dari
keelokan kota air Italia yang menjadi latar cerita, Herr der Diebe menyentuh
pikiran kita untuk kembali ke masa kanak-kanak yang menyenangkan, penuh
petualangan, dan bahwa kecemasan hanya seputar apa yang akan dimainkan keesokan
harinya.
Puisi di atas memang
sungguh tepat untuk mengungkapkan keseluruhan cerita. Bahwa dunia kanak-kanak
yang penuh permainan memang kadang-kadang dirindukan. Entah itu bermain
kejar-kejaran, petak umpet atau apapun. Jujur saya sendiri juga begitu. Rasanya
entah mengapa saya dunia saya dulu berkesan lebih besar, dimana saya bermimpi
menggapai bintang, atau setidaknya terbang di atas hamparan lautan lepas.
Entah bagaimana
rasanya ketika kecil, hal yang paling sederhana pun bisa membuat tertawa.
Bermain tanpa khawatir, bermimpi tanpa takut dirampas, berpetualang yang tak
kenal lelah.
Saya rasa karena
alasan yang sama pula, orang-orang menciptakan Neverland, dengan Peterpen
sebagai pemimpinnya. Peterpen dengan anak-anak yang tak pernah dewasa. Ketika
saya menyebutkan ini kepada teman saya disertai pernyataan saya ingin tetap
menjadi anak-anak, dia menyetujuinya. Tapi perkataan selanjutnya membuat lidah
saya kelu. Dia memang berkata ingin kembali menjadi anak-anak, tapi di sisi
lain dia juga ingin menjadi dewasa.
“Aku ingin menjadi
anak-anak saat harus menjadi anak-anak, dan aku ingin menjadi dewasa saat harus
menjadi dewasa,” demikian yang kiranya dia sampaikan. Hati saya tertohok, dan
saya akui dia benar. Saya rasa saya terlalu larut dalam masalah saya yang
sekarang, saya terlalu terfokus pada masa kanak-kanak saya yang menyenangkan.
Benar, masa dewasa ternyata sulit. Saya ingat dulu ketika kecil saya ingin
cepat-cepat dewasa. Ingin cepat menggapai cita, tapi nyatanya inilah yang ada;
saya ingin kembali ke masa dimana saya bisa tertawa lepas.
Tapi, teman saya
telah menunjukkan kepada saya apa yang memang harus dilakukan. Kedewasaan
adalah sesuatu yang tak dapat dihindarkan. Saya tahu saya tidak akan bisa pergi
ke Neverland dan menjadi teman Peterpan. Saya tahu saya tidak bisa naik Komedi
Putar Suster Kasih untuk kembali menjadi gadis kecil. Inilah saya, mengalami
pertumbuhan menuju kekedewasaan yang sebenarnya. Menerima tanggung jawab, dan
berusaha sebaik mungkin melakukan yang saya bisa.
Memang masa
kanak-kanak itu menyenangkan, namun masa depan masih terbentang jauh di depan
mata, masih dalam wujud yang tak sempurna. Sebuah film yang saya pernah tonton
menyebutkan bahwa masa depan memiliki banyak pintu, dan pintu yang akan kita
buka nantinya tergantung pada apa yang kita lakukan di masa sekarang. Tak perlu
khawatir, tak perlu ingin kembali, hidup bukan sekedar melewati, namun juga
menikmati setiap momen yang ada.
Aku
tidak tahu bagaimana mengatakannya. Ku rasa setiap ospek mengajari kita
kecintaan terhadap suatu hal. Aku menemukan hal ini setelah menjalani tiga
ospek ketika menjadi mahasiswa baru. Ospek pertama adalah ospek Palapa,
meskipun mereka cenderung menyebutnya PPSMB, alih-alih ospek. Dan aku tahu ini
benar-benar berbeda.
Palapa
sendiri mengajarkanku akan kecintaan terhadap universitas ini sendiri. Dengan
jargonnya yang ku ingat setengah mati. “UGM,
Pancasila Jiwa Kami, Bakti untuk Negeri, UGM Bersatu, Bangkitlah Nusantaraku”.
Aku menemukan banyak orang baru di sini dengan latar kebudayaan yang berbeda,
membawa permasalahan sendiri-sendiri, perjuangan mereka hingga sampai di sini.
Ospek
keduaku, Prisma, adalah ospek fakultas yang awalnya ku kira bencana, namun aku
masih mengingatnya sampai sekarang. Aku salah, Prisma telah membawaku ke dalam
suka duka baru yang nyaris utuh, sempurna dalam bimbingan pemanduku yang baik
hatinya Mbak Ulfah dan Mas Mus. Aku akan mengatakan inilah keluarga pertamaku
di Jogja. Menjadi mahasiswa teknik, “Teknik
Jaya”.
Hari terakhir Prisma bersama Mbak Ulfah |
Ospek
ketiga, ospek jurusan, FDK namanya, dimana aku ingin kabur, tapi digagalkan
oleh nasihat pemanduku. FDK dengan wajah-wajah yang berbeda, aturan-aturan yang
berbeda, membuatku merasa asing. Kakak-kakak senior rasanya makhluk luar
angkasa yang sengaja dikirim untuk menyiksa. Setelah keharuan ospek Prisma,
menghadapi satu ospek lagi dengan tampilan baru rasanya seperti makan cabe
setelah makan coklat.
Tapi
sekali lagi aku salah. TETI begitu singkatannya, Teknik Elektro dan Teknologi
Informasi akan menjadi keluargaku di sini. Keluargaku yang sesungguhnya.
Tugasnya memang banyak, tapi aku tahu tugas-tugas ini mempunyai manfaat
tersendiri. Ada hikmah di dalamnya. Tidak seperti tugas Prisma yang cenderung
bersifat tertulis, tugas FDK lebih banyak pada interaksi sosial, kepada kakak
tingkat khususnya. Mereka menyebutnya sebagai keluarga, tidak ada batasan di
sini, semua adalah keluarga. Karena “TETI
Satu”, sama seperti jargonnya.
Menyanyikan yel-yel kelompok FDK Kaito Kid bersama Mbak Bear |
Aku
menyadari banyak hal yang telah mengubah pikiranku di sini. Dua bulan FDK
adalah waktu yang cukup lama untuk saling mengenal, saling berbagi, rasanya
lucu ketika mengingat kami pernah dimarahi, dan hanya diam tanpa bisa
membantah. Entah bagaimana itu membekas di pikiranku sampai sekarang, ingatan
yang cukup untuk membuat segala macam tugas-tugas itu menjadi bermakna.
Banyak
hal yang terjadi selama aku menjadi mahasiswa baru. Aku senang, luar biasa
senang. Duka jelas ada, karena apalah artinya suka tanpa duka. Yang jelas,
bagiku aku ingin menikmati segala yang terjadi di sini, segala yang telah ku
pilih, dengan teman-teman yang luar biasa baik dan menyenangkan.